3.6.08

Just do it

Spontanitas adalah kejujuran. Setidaknya itu paham yang saya anut. Lalu saya bertanya-tanya, apakah segalanya harus serba teratur. Apakah segalanya tidak lebih baik kalau berjalan begitu saja secara alami. Saya juga bertanya-tanya, apakah dulu Sir Isac Newton punya agenda harian? Mungkin ya. Apakah mereka, orang-orang besar itu memiliki mimpi? Pastinya ya. Tapi kemudian apakah harus membuat segalanya serba tertulis. Membuat segalanya terencana diatas kertas secara terperinci. Terkadang membuat segalanya itu saja tertuang dalam kertas secara detail sudah membuat takut. Takut kalau-kalau ini bukan rencana terbaik. Takut kalau ternyata ada jalan lain yang lebih baik dan lebih tepat. Mungkin ada ketakutan untuk bermimpi. Mungkin ada ketakutan untuk jujur. Pastinya segala sesuatu itu ada kekurangan. rencana yang at leats 99% perfect pun tidak bisa sempurna. Nah, kalau tidak ada kesempurnaan, kenapa harus ada kata sempurna? Juga kalau tidak ada yang jelek, namun yang ada tidak bagus atau tidak cantik, kenapa harus ada kata “jelek”. Sama halnya dengan kegagalan, kenapa harus ada kata “kegagalan“ kalau bisa disubstitusi dengan keberhasilan yang tertunda. Who the hell make those words?

Seseorang butuh koridor jika ingin total. Jika ingin bisa memaksimalkan seluruh dayanya. Jika ingin menjadi semacam dewa. Kata teman saya bertapa lebih lama jelas lebih sakti. Memang betul, seseorang yang bertapa berarti berkonsentrasi penuh pada usahanya. Ia mencurahkan pikiran, tenaga, waktu, dan segalanya kepada usahanya. Saya ingin menggunakan kata turbulensi, namun tidak yakin akan makna dan kelas katanya. Seorang petapa tidak perduli dengan lingkungan sekitar. Ia tidak mau ambil pusing dengan kejadian lain yang tidak berhubungan dengan dunianya. Ia hanya peduli dengan apa yang ada di dalam pikirannya, seolah memakai kacamata kuda. Banyak yang menggunakan terminology “autis”. Tapi mungkin “autisme” inilah puncak kejeniusan. Puncak dari segala-galanya. Puncak dari si petapa asyik dengan dunianya sendiri. Saya perrnah baca kalau seorang sufi itu dekat dengan kegilaan. Yang mengalami jelas lebih tahu daripada yang berkomentar. Tapi si petapa, yang notabene tenggelam dengan hal yang dialaminya, justru sibuk dengan kegilaannya. Bahkan sampai tidak sempat memberi nama atau sekedar memprotes akan julukan negatif yang diberikan kepadanya. Ia lebih memilih pekerjaan berat, dunianya, dibanding pekerjaan ringan, memprotes gelarnya.

Inginnya menjadi “autis” dan “gila”.

Kadang takut untuk memilih kegilaan. Kenapa sih harus serba takut? Ask it to yourself. Mungkin jawabannya adalah just do it.

0 comments:

blogger templates | Make Money Online